Bayangkan. Anda sedang menerima tamu. Tiba-tiba istri Anda ribut dengan seseorang yang membawa makanan ke rumah lantas memecahkan piringnya. Apa yang Anda lakukan?
Kebanyakan orang mungkin akan memarahi istrinya karena telah membuat malu di depan para tamu. Atau mungkin mengumpatinya, atau bahkan memukulnya. Setidaknya ia merasa malu, kehormatannya sebagai tokoh masyarakat tercemar oleh perilaku istrinya. Demikiankah?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengalami hal itu. Imam Bukhari dan beberapa imam hadits meriwayatkannya.
Hari itu, Rasulullah sedang menemui sejumlah tamu yang tidak lain adalah para sahabat beliau. Tiba-tiba terdengar suara piring pecah. Ternyata Aisyah baru saja memukul piring berisi makanan yang dibawa oleh pembantu Zainab untuk disuguhkan kepada Rasulullah. Piring itu pecah dan makanannya pun jatuh.
Menyaksikan insiden tersebut Rasulullah tidak marah. Beliau tidak merasa harga dirinya turun. Beliau tidak merasa kehormatannya dipermalukan. Beliau tidak merasa khawatir disebut sebagai suami yang tidak mampu mendidik istrinya untuk mengendalikan emosi. Sama sekali tidak.
Rasulullah mendekati mereka dengan tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Lalu beliau memunguti makanan dari kurma tersebut dan meletakkannya di sisa-sisa piring, kemudian membawanya ke majelisnya semula untuk dimakan bersama para tamu.
“Maaf… ibu kalian sedang cemburu,” kata Rasulullah kepada para sahabatnya. Tak lupa, beliau mengganti piring yang sudah pecah tersebut dengan piring yang utuh untuk dibawa kembali oleh pembantu kepada Zainab.
Demikianlah akhlak agung Rasulullah. Khuluqun ‘adhiim. Beliau tidak mempermasalahkan masalah, namun menyelesaikan masalah. Beliau tahu saat itu Aisyah sedang cemburu karena di hari giliran Aisyah, Zainab mengirimkan makanan untuk Rasulullah. Maka Aisyah pun memecahkan piring sebagai ekspresi kecemburuannya.
Dan Rasulullah memecahkan masalah dengan bijak. Beliau tidak memarahi Aisyah karena memarahi istri yang sedang marah akan menimbulkan masalah baru. Masalah semula tidak terselesaikan, justru suami istri terlibat pertengkaran. Rasulullah tidak melakukan itu.
Namun memecahkan piring orang lain tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dan karenanya harus diganti. Karena itulah hadits ini dibahas panjang lebar oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fahtul Baari, untuk mengambil istinbath jika seseorang memecahkan barang milik orang lain, haruskah mengganti dengan barang atau bisa dalam bentuk uang.
Rasulullah juga kalem saja di hadapan para sahabat. Beliau tidak menyalahkan Aisyah karena menyalahkan istri di depan orang lain adalah bukanlah tindakan yang baik. Orang yang mendengar akan mengetahui bahwa keluarga tersebut sedang bermasalah, sementara mereka belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalahnya.
Sebagai suami, sanggupkah kita mengelola emosi seperti Rasulullah ketika istri kita tiba-tiba marah atau memecahkan piring seperti Aisyah?
0 komentar:
Posting Komentar